Oleh: M. Zin
“Kalau lulusan madrasah bisa masuk SMA favorit atau perguruan tinggi negeri, kenapa masih ada yang menganggap mereka tak setara?”
Pertanyaan di atas mungkin sering kita dengar. Meski lulusan madrasah dan sekolah umum sama-sama menjalani pendidikan formal, nyatanya masih banyak cerita soal ketimpangan perlakuan. Padahal, dalam banyak hal, madrasah sudah jauh berubah: lebih maju, lebih cerdas, dan tentu saja, tetap religius.
Namun, benarkah lulusan madrasah belum sepenuhnya “dianggap setara”? Mari kita telusuri bersama.
Di Mana Letak Masalahnya?
Meski di atas kertas sama-sama mengikuti standar nasional pendidikan, ada beberapa perbedaan antara madrasah dan sekolah umum:
- Kurikulum Ganda
Madrasah harus menyeimbangkan dua hal: ilmu umum dan ilmu agama. Mata pelajaran seperti Fikih, Akidah Akhlak, dan Al-Qur’an Hadits membuat waktu belajar lebih padat, sementara jam pelajaran umum menjadi lebih terbatas. Ini membuat beberapa pihak menganggap lulusan madrasah kurang mendalami pelajaran sains atau matematika. Padahal, itu asumsi yang tidak selalu benar. - Pindah Sekolah? Tidak Mudah
Banyak siswa madrasah yang ingin pindah ke SMA atau SMK umum terkendala karena kode mapel berbeda, format rapor tak seragam, atau bahkan tidak dikenal sistem pendidikannya oleh sekolah tujuan. Begitu juga saat mendaftar ke universitas negeri, beberapa mengalami kendala teknis saat mengisi data di sistem. - Stigma dan Persepsi Lama
Masih ada anggapan bahwa madrasah hanya tempat belajar agama, tidak cocok bagi mereka yang ingin mengejar sains atau teknologi. Padahal, banyak alumni madrasah yang sukses di bidang kedokteran, teknik, bahkan startup digital.
Apa Kata Para Pejabat Terkait?
1. Dirjen KSKK Madrasah: Lulusan Madrasah Bukan Kelas Dua
Dr. M. Isom Yusqi, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag, menegaskan bahwa lulusan madrasah bukan hanya setara, tapi memiliki keunggulan ganda. Mereka menguasai ilmu umum dan juga nilai-nilai agama yang kuat. Dengan berbagai inovasi seperti digitalisasi madrasah dan revitalisasi kurikulum, kualitas madrasah terus ditingkatkan.
2. Kanwil Kemenag Provinsi: Perlu Sinergi Lintas Kementerian
Para kepala kantor wilayah menyoroti pentingnya kerja sama antara Kemenag dan Kemendikbudristek, terutama dalam sistem PPDB dan penerimaan mahasiswa baru. Tidak boleh ada sistem yang mendiskriminasi lulusan madrasah hanya karena teknis.
3. Kemenag Kabupaten/Kota: Lapangan Bicara Jujur
Mereka adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan. Mulai dari siswa yang ditolak saat pindah sekolah, hingga orang tua yang kebingungan soal format rapor atau nilai yang tak bisa di-input. Solusinya? Harus ada penyetaraan sistem dan komunikasi yang lebih baik dengan Dinas Pendidikan daerah.
Apa Solusinya? Ini Jalan Keluarnya
✅ Reformasi Administratif
Madrasah dan sekolah umum perlu menggunakan sistem yang kompatibel. Rapor digital, penyamaan kode mata pelajaran, dan integrasi data antara EMIS dan Dapodik adalah langkah konkret.
✅ Perkuat Kurikulum Madrasah
Tak hanya agama, madrasah kini mulai fokus pada literasi sains, teknologi, coding, bahkan keterampilan vokasi. Dengan begitu, lulusan madrasah tidak kalah dari siapa pun.
✅ Advokasi dan Sosialisasi Publik
Sudah saatnya madrasah menjual diri dengan bangga. Tunjukkan prestasi siswa, guru inspiratif, hingga alumni sukses. Dunia harus tahu: madrasah bukan sekolah pinggiran, tapi pusat pembentuk karakter dan intelektualitas.
✅ Sinkronisasi PPDB dan SNPMB
Perlu ada regulasi nasional yang menjamin kesetaraan peluang bagi lulusan madrasah dalam mendaftar ke sekolah atau universitas negeri. Tidak ada lagi istilah “tidak bisa karena beda kementerian”.
Penutup: Madrasah Bukan Sekadar Alternatif
Lulusan madrasah hari ini adalah kombinasi ilmu dan akhlak. Mereka paham sains, tapi juga punya adab. Mereka bisa bersaing di kampus top, tapi tetap membawa nilai-nilai Islam. Maka, tak ada alasan lagi untuk meragukan kesetaraan mereka.
Justru pertanyaannya sekarang adalah:
Apakah sekolah umum sudah bisa mengejar keunggulan madrasah?